Monday 23 September 2013

PENGGUNAAN SISTEM SRI (Sistem of Rice Intensification ) DALAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI DAN PERBEDAANYA DENGAN SISTEM KONVENSIONAL

 BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris dan beriklim tropis yang mempunyai potensi alam yang mendukung pertumbuhan tanaman pangan yang menjadi pusat kebutuhan yang mutlak bagi setiap masyarakat di Indonesia. Setiap makhluk hidup di dunia ini membutuhkan pangan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Ketahanan pangan bukan hanya masalah “cukup makan”. Lebih jauh dari itu, pemenuhan hak atas pangan dapat dipandang sebagai salah satu pilar utama hak azazi manusia (Kurdianingsih, 2012).
Padi merupakan jenis tanaman pangan utaman di Indonesia dan merupakan salah satu budidaya terpenting dalam peradaban. Padi (Oryza sativa .L) yang menjadi maradona pangan sendiri bagi semua kalangan memang tidak dapat diragukan lagi jika memang harus perlu peningkatan produktifitas padi nasional, tapi melihat kejadian impor padi yang meningkat terutama di Indonesia terlihat bahwa sistem yang digunakan dalam peningkatan produksi padi belum mencukupi kebutuhan pangan rakyat, sehingga seperti yang disebut tadi Indonesia mengimpor beras dari negara tetangga untuk menutupi kekurangan akan beras nasional.  Kebutuhan beras sebagai pangan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena lahan pertanian yang semakin menyempit dan jumlah penduduk yang semakin meningkat (Hasibuan, 2012).
Petani sebagai insan yang berperan menghasilkan bahan pangan kondisinya sangat memprihatinkan. Petani menghadapi banyak permasalahn dalam perannya menghasilkan bahan pangan. Permasalahan mendasar yang dihadapi petani adalah kurangnya akses kepada sumber permodalan, pasar dan teknologi, serta organisasi tani yang masih lemah. Kajian keadaan pedesaan secara partisipatif adalah salah satu tahap dalam upaya meningkatkan kemandirian, hasil panen dan kesejahteraan masyarakat dalam hidupnya. Kajian keadaan pedesaan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan percaya diri masyarakat dalam mengidentifikasi serta menganalisa situasi, potensi dan masalahnya sendiri. Dalam kajian keadaan pedesaan secara partisipatif melalui Pemberdayaan Masyarakat, masyarakat dapat memanfaatkan informasi dan hasil kajian yang dilakukan bersama oleh masyarakat bersama tim fasilitator, untuk mengembangkan rencana kerja masyarakat petani agar lebih maju dan mandiri Sunyoto Usman (2008:33-40) (dalam Ayuningtyas, 2012).
Dalam upaya peningkatan produktivitas padi ini maka perlu suatu teknologi yang tepat guna, salah satunya adalah penerapan SRI (The System of Rice Intensification). SRI merupakan salah satu sistem budidaya tanaman padi yang menekankan menajemen pengelolaan tanaman, tanah, dan air. Sistem SRI ini dapat meningkatkan hasil panen padi sebesar 78% Hasan dan Sato, 2007 (dalam Hasibuan, 2012).

1.2  Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan SRI?
2. Apa perbedaan SRI dengan sistem konvensional?
3. Apa kekurangan menggunakan sistem SRI?

1.3 Tujuan
1.  Untuk menegetahui sistem SRI.
2. Untuk memberikan informasi tentang perbedaan sistem SRI dan sistem kopnvensional.
3.  Untuk mengetahui kekurangan sistem.


BAB 2. ISI
2.1 Data
Sistem tanam pada metode SRI pada prakteknya berbeda dengan sistem konvensional, perbedaan ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Metode SRI dengan sistem konvensional
No
Komponen
Konvensional
Metode SRI
1
Kebutuhan benih
30-40 kg/ha
5-7 kg kg/ha
2
Pengujian benih
Tidak dilakukan
Dilakukan pengujian
3
Umur dipersemaian
20-30 HSS
7-10 HSS
4
Pengolahan tanah
2-3 kali (struktur lumpur)
3 kali (struktur lumpur dan rata)
5
Jumlah tanaman per lobang
Rata-rata  5 batang
1 batang
6
Posisi akar waktu tanam
Tidak beraturan
Horizontal (L)
7
Pengairan
Terus digenangi
Disesuaikan dengan kebutuhan
8
Pemupukan
Pupuk kimia
Pupuk organik
9
Penyiangan
Diarahkan pada pemberantasan gulma
Diarahkan pada pengelolaan perakaran
10
Rendemen (keuntungan)
50-60%
60-70%
(Sumber:  Hasibuan, 2012)

2.2 Pembahasan
Budidaya padi organik dengan menggunakan metode SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, akan sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya (Pratama, 2012). SRI merupakan salah satu sistem budidaya tanaman padi yang menekankan menajemen pengelolaan tanaman, tanah, dan air yang dapat digunakan sebagai salah satu sistem budidaya untuk intensifikasi pertanian. SRI sendiri berupa metode pertanian yang berkelanjutan yang ramah lingkungan dimana pengelolaannya jauh dari polusi kimia sehingga produk berbasis organik dan  non-residu baik di tanah, lingkungan, dan produk. Gagasan SRI pada mulanya dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S. J., seorang Pastor Jesuit asal Prancis. Oleh penemunya, metodologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancisnya dinamakan Le System de Riziculture Intensive disingkat SRI  dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Sistem of Rice Intensification  (Anugrah, Wardana dan Sumedi, 2008 dalam Hasibuan, 2012).  . Metode SRI dapat menurunkan input yang besar dari penggunaan pupuk anorganik dimana kadar kimianya dapat merusak tanah. Metode SRI hanya mengandalkan bahan organik dalam pengelolaannya dan pengurangan input air skala besar selama masa tanam padi.
Pertanian organik pada prinsipnya menitik beratkan prinsip daur ulang hara melalui sampah-sampah dari panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah, dan konservasi air, mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional.
Dalam pengelolaanya, metode SRI hanya mengandalkan kebutuhan pupuk organik dan pestisida organik untuk padi organik metode SRI yang dapat diperoleh dengan cara mencari dan membuatnya sendiri. Seperti pembuatan kompos sebagai pupuk ini dilakukan dengan memanfaatkan kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan menggunakan aktifator EM (Efektif Mikroorganisme), begitu pula dengan pestisida dicari dari tumbuhan berhasiat sebagai pengendali hama. Namun yang perlu diketahui dalam pertanian metode SRI ini, penggunaan pupuk organik dari musim pertama ke musim berikutnya memang mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik dari musim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untuk dapat meningkatkan produksi (panen) apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanam tiba, selain itu juga akan merusak alam, lingkungan, dan lahan dengan menyisakan residu.Tidak pada sistem SRI ini, dalam jangka waktu yang lama, metode SRI akan meningkat produktivitasnya dengan baik karena unsur hara dapat tersuplai dengan baik dan komplit dari hara makro dan mikro, biasanya metode pertanian SRI akan terlihat setelah 3 kali musim panen, karena perombakan hara yang dilakukan mikroorganisme tanah sudah dapat digunakan oleh tanaman. Karena metode pemupukan dengan bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah, sehingga pengolahan tanah untuk metode SRI menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan pengolahan tanah yang menggunakan pupuk anorganik terus menerus kondisi tanah semakin kehilangan bahan organik dan kondisi tanah semakin berat, mengakibatkan pengolahan semakin sulit dan biaya akan semakin mahal
Penerapan SRI yang sering digunakan berdasarkan atas lima komponen penting yaitu, penanaman bibit muda yang berumur 6-12 hari setelah semai, bibit ditanam satu batang per lubang, jarak tanaman yang lebar, kondisi tanah yang lembab dan rutin dilakukan penyiangan untuk menghilangkan gulma serta meningkatkan aerasi tanah. Penggunaan  bibit muda pada sistem SRI ini karena pada bibit muda akar lebih mampu menyokong tanaman yang akan tumbuh dibandingkan dengan bibit tua, hal ini menentukan dalam pertumbuhan tanaman selanjutnya. Penanaman satu batang per lubang akan menurunkan kebutuhan benih serta kondisi tanah yang tidak tergenang dapat meningkatkan aerasi dan efisiensi penggunaan air. Menurut VECO Indonesia (2007), proses pengelolaan air dan penyiangan dalam metode SRI dilakukan sebagai berikut:
a.       Ketika padi mencapai umur 1-8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air di lahan adalah “macak-macak atau tidak terlalu berlebihan”.
b.      Sesudah padi mencapai umur 9-10 HST air kembali digenangkan dengan ketinggian 2-3 cm selama 1 malam saja. Ini dilakukan untuk memudahkan penyiangan tahap pertama
c.       Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai umur 18 HST.
d.      Pada umur 19-20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan penyiangan tahap kedua.
e.       Selanjutnya setelah padi berbunga, sawah diairi kembali setinggi 1-2 cm dan kondisi ini dipertahankan sampai padi “masak susu” (± 15-20 hari sebelum panen).
f.       SRI juga sudah diuji coba dan diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia, pada wilayah Indonesia bagian timur SRI dapat meningkatkan produksi padi sebesar 78%, penurunan penggunaan benih sebesar 80%, penghematan penggunaan air sebesar 40% serta menurunkan biaya produksi sebesar 20%.
Perbedaan yang mendasar dari sistem SRI dengan sistem konvensional sendiri yaitu: (1) Persiapan bibit awalnya dilakukan perendaman selama 24 jam dan diperam  selama 2 malam, disemaikan pada media tanah dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1-1 dipersemaian, dan dibiarkan berkecambah sehingga menjadi bibit muda pada umur 12 hari sehingga siap untuk ditanam dilahan sawah, (2) Pengairan selama periode pertumbuhan dan produksi dimana kondisi air tidak menggenang, sejak penanaman sampai 5 hari setelah tanam terlihat rekahan kecil maka dilanjutkan dengan pembasahan ulang pada sore hari hingga lembab dan dikeringkan pula hingga terbentuk rekahan kecil pada 3 hari berikutnya. Periode ini berlangsung hingga masuknya masa pembungaan, selama masa pembungaan hingga matang fisiologis tinggi air dipertahankan 3 cm. (3) Penggunaan bahan organik sampai batas normal kadar bahan organik tanah yaitu 3-5%. (4) Pengaturan jarak tanam yang lebar 30x30 cm dan penanamannya 1 bibit perlobang tanam.
Di Indonesia sendiri, metode SRI mulai dikembangkan melalui pengujian dan evaluasi di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat. Pengujian dilakukan pada dua musim tanam yaitu pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi 8.2 ton/ha Hasan dan Sato, 2007 (dalam Hasibuan, 2013). Seperti metode lainnya, SRI juga memiliki keunggulan dan tantangan. Keunggulan SRI antara lain:
a.       Dapat meningkatkan produksi padi sampai 50% bahkan ada yang lebih.
b.      Pengurangan dalam pemakaian :
·         Benih 80-90%.
·          Kebutuhan air 25-50%.
c.       Semua varietas benih dapat digunakan.
d.      Biaya produksi turun 10-25%.
e.       Pendapatan petani meningkat.
Adapun tantangan dari proyek SRI dalam penerapannya yang telah dipelajari meliputi: petani atau buruh tanam kesulitan tanam bibit muda, petani kesulitan mencari tenaga kerja, petani atau buruh tanam kesulitan menanam jarak lebar, pola pikir petani masih mainded pupuk kimia, dan petani kesulitan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu. Adapun masalah dan kendala penerapan SRI sebagai berikut:
1. Petani atau buruh tanam kesulitan menanam dengan bibit muda.
            Salah satu kunci sukses proyek SRI adalah menanam bibit muda, yakni pada umur 7-15 hari. Jika petani menanam bibit yang lebih tua - 3, 4, 5 atau 6 minggu – maka mereka telah kehilangan banyak potensi untuk menghasilkan sejumlah anakan tanaman. Cara tanam bibit padi umur muda yaitu ketika bibit didorong ke dalam tanah harus digeser seperti huruf L hal ini untuk mengurangi tekanan akar tanaman dan memudahkan tanaman proses melanjutkan pertumbuhan akar. Hal inilah salah satu kesulitan buruh tanam karena mereka terbiasa menanam bibit konvensional dengan ditekan kedalam dengan kedalaman sekitar 4-6cm. Sehingga cara menanam bibit muda merupakan hambatan tersendiri bagi buruh tanam.
Salah satu alasan menanam bibit muda dengan digeser adalah pada pertumbuhan akar tanaman. Akar tanaman padi tumbuh dari ujungnya. Jika ujung menunjuk ke atas maka akar harus mengubah posisinya di dalam tanah untuk mendapatkan ujung menunjuk ke bawah sebelum dapat melanjutkan pertumbuhan. Hal ini memerlukan banyak energi dan usaha dari akar kecil, pada saat itu masih lemah setelah tanam, terutama jika telah dibiarkan kering karena keterlambatan menanam. Hal inilah yang menjadi risiko besar untuk menanam bibit muda.
2. Petani kesulitan mencari tenaga kerja atau buruh.
Ketersediaan tenaga kerja di tempat penelitian sulit ditemukan pada musim tanam padi, karena pada saat itu hampir semua petani menanam padi secara serempak. Bahkan, ada yang menyewa buruh tanam dari luar desa tersebut. Alasan lain yaitu, dimana areal yang ditanam sangat besar sedangkan tenaga kerja relatif tetap, mengingat usia tenaga kerja banyak diatas 40 tahun. Sedangkan penduduk yang usia produktif 18-40 tahun lebih banyak mencari pekerjaan di luar desa, misalnya di pabrik rokok, atau sopir, bahkan menjadi Tenaga Kerja Wanita atau Tenaga Kerja Indonesia.
3. Petani atau buruh tanam kesulitan menanam dengan jarak tanam renggang atau lebar.
Untuk menanam dalam pola jarak tanam lebar atau jarak yang teratur, salah satu metode yang digunakan adalah dengan menggunakan baris (tali) yang diikat di antara tongkat di pinggir lapangan, jarak 25 cm - atau 30 cm, atau 40 cm, atau mungkin 50 cm jika tanah sangat subur dan dikelola dengan baik. Garis harus ditandai (atau diikat) pada interval yang sama untuk menyesuaikan lebar baris sehingga akan ada jarak seragam yang memfasilitasi penyiangan. Atau seseorang dapat menggunakan seperti sikat terbuat dari bambu dan ada celah atau spasi atau jarak yang diinginkan.
Alternatif lain untuk menanam adalah dengan menggunakan garu khusus untuk mencetak permukaan lapangan di sebuah pola persegi untuk menanam bibit di persimpangan dari garis-garis. Ada sebagian petani merasakan garu khusus ini bisa menjadi metode yang lebih cepat daripada menggunakan tali. Ternyata ada sebagian petani yang kesulitan menerapkan model seperti itu. Alasan lain adalah kalau cara konvensional tidak ada ukuran dan langsung tanam sehingga cepat dalam pengerjaannya, tidak menyita, selain itu jika buruh tanam menanam dengan jarak lebar ada sebagian buruh mengeluhkan nyeri punggung dan susah jangakauan tangan atau kaki sehingga dianggap tidak praktis dan ribet.
4. Petani masih senang pada pupuk kimia (Minded pupuk kimia).
Sebagian besar khususnya petani sulit menerapkan SRI karena masih tergantung pada pupuk kimia, dan hanya sedikit yang menggunakan pupuk organic. Karena bagaimanapun juga pendekatan SRI ini juga mengarah pada penggunaan pupuk organik.
5. Petani kesulitan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu.
Berdasarkan interview mendalam, bahwa hama dan penyakit ini mudah timbul dikarenakan kebiasaan petani dalam usaha taninya yang dirasa justru mengundang datangnya hama dan penyakit tanaman tersebut. Contohnya adalah pada pola tanam yang mana lahan terus menerus digunakan untuk menanam padi, tidak ada pergantian dengan komoditi lain. Padahal hal tersebut selain membuat hama tetap bertahan dan terus berkembangbiak, dampak lain yang ditimbulkan adalah penurunan kualitas lahan itu sendiri. Lambat-laun jika dibiarkan terus seperti itu lahan akan kering, rusak dan tidak dapat digunakan lagi.
Rotasi tanaman atau pergantian tanaman dengan komoditas lain perlu untuk dilakukan, yang tentu dengan hal tersebut bisa menekan perkembangbiakan hama bahkan memutus rantai hidup hama pembawa penyakit ini. Rotasi tanaman memiliki dampak positif antara lain tanah tidak akan terlalu capek dan dapat dipulihkan secara perlahan. Penanaman secara serempak pun adalah cara lain yang dirasa cukup bagus untuk mengendalikan hama wereng hijau dalam pergerakannya menularkan virus tungro. Dengan sistem tanam yang serempak wereng hijau tidak akan terus-terusan berkembangbiak setelah masa panen usai.





BAB 3. KESIMPULAN

Dari pembahasan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      SRI sendiri berupa metode pertanian yang berkelanjutan yang ramah lingkungan dimana pengelolaannya jauh dari polusi kimia sehingga produk berbasis organik dan  non-residu baik di tanah, lingkungan, dan produk.
2.      Secara umum perbedaan sistem SRI dan sistem konvensional sendiri terletak pada proses pemilihan bibit, pengolahan tanah, irigasi, dan perawatanya.
3.      Ada beberapa kesulitan yang dihadapi oleh petani sistem SRI ini diantaranya sebagai berikut:
a.       Petani atau buruh tanam kesulitan menanam dengan bibit muda.
b.      Petani kesulitan mencari tenaga kerja atau buruh.
c.       Petani atau buruh tanam kesulitan menanam dengan jarak tanam renggang atau lebar
d.      Petani masih senang pada pupuk kimia (Minded pupuk kimia).

e.       Petani kesulitan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu

data permasalahan petani

Inventarisasi Permasalahan Pertanian Indonesia
Pertanian di Indonesia bukan sebuah hal yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia, tapi memang sudah menjadi bahan pembicaraan atau topik utama di setiap kalangan masyarakat baik dari tingkat bawah sampai tingkat atas, itu semua karena Indonesia sendiri merupakan negara agraris sehingga pertanian merupakan titik tumpu dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat meskipun ada diantaranaya untuk memenuhi kebutuhan pangan masih tergantung terhadap negara lain. Pembicaran mengenai pertanian sendiri tidak jauh dari permasalahan – permasalahan yang dihadapi oleh para petani terutama yang melanda pertanian di Indonesia. Permasalahan bidang pertanian tidak hanya sebatas dari sistem yang digunakan tapi banyak hal lagi yang menjadi tantangan berat bagi para petani dalam mendapatkan hasil pertanian yang sesuai dengan rencana sebelumnya, diantara dari permasalahan dalam bidang pertanian yang menjadi garis pokok untuk membentuk sistem pertanian yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip-prinsip agroekologi yaitu:
1.       Masih banyak didominasi oleh usaha dengan skala kecil dan usaha sendiri (Swasembada) dan pengetahuan yang terbatas akan pertanian yang berkelanjutan.
2.      Modal yang sedikit dan pinjaman yang sulit.
3.      Penggunaan teknologi yang masih sederhana.
4.      Terpengaruh oleh musim dengan sistem yang masih konvensional.
5.      Saat panen biasanya para petani tidak memasarkan hasilnya sehingga petani tidak mendapatkan hasil (keuntungan) yang lebih, mereka hanya mengkonsumsi sendiri dan sebagian di simpan untuk persiapan bibit jika musim tanamn datang lagi.
6.      Umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi).
7.      Penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang makin tinggi dikalangan masyarakat.
8.      Semakin sempitnya lahan pertanian karena dialih fungsikan pada bangunan –bangunan rumah tangga, pabrik dan gedung-gedung besar.
9.      Bayaran terhadap buruh tani rendah tidak sesuai dengan harga produk yang dipasarkan.
10.  Pasar komoditi pertanian yang sifatnya mono/oligopsoni yang dikuasai oleh pedagang-pedagang besar sehingga terjadi eksploitasi harga yang merugikan petani.
Selain itu permasalahan-permasalahan yang menghambat pembangunan pertanian di Indonesia seperti pembaruan agraria (konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian) yang semakin tidak terkendali lagi, kurangnya penyediaan benih bermutu bagi petani, dan kelangkaan pupuk pada saat musim tanam datang (Ismpi, 2009).
Menurut Solahudin (2005), masalah pokok yang ada pada pertanian Di Indonesia yaitu:
1.    Semakin meningkatnya buruh tani dan petani miskin Di Indonesia
2.    Semakin sempitnya kepemilikan dan penguasaan lahan bagi petani dan semakin banyaknya lahan pertanian yang tidak subur
3.    Produktivitas pertanian, terutama tanaman pangan masih relatif rendah
4.    Daya saing produk pertanian yang masih rendah
5.    Teknologi yang digunakan masih tradisional
6.    Ketergantungan produk impor untuk beberapa komoditi masih tinggi, seperti beras, gula, gandum, kedelai, jagung, dan daging.
Menurunnya daya dukung dan rusaknya lingkungan

Friday 6 September 2013

Cara Memberi Animasi pada Blog Anda

Langkah-langkahnya :

1. Buka alamat http://widgetindex.blogspot.com
2. Lihat sebelah kiri anda ada tulisan kategori widget & best quotes, disana anda bisa menemukan banyak gambar. Jika ingin mengganti tulisan ucapan selamat datang, disana ada 3 jenis, yaitu:
- welcome to my blog misc
- welconme to my blog anime
- welcome to my blog KPOP
3. Setelah anda memilih, anda dapat mengcopy script widget yang anda pilih
4. Log in di blog Anda www.blogger.com
5. Klik Desain, kemudian klik tata letak
6. Klik tambahkan gadget sebelah kanan halaman anda
7. Klik eidt HTML/Java Script
8. Masukkan script yang kita copy tadi, kemudian simpan
9. Kemudian liat blog anda
10. Selamat mencoba :)

Wednesday 4 September 2013

Cara Menambahkan musik dalam blog / web milik kita

Halo sobat bloggers..Kali ini saya akan menuliskan sebuah artikel pendek tentang bagaimana caranya menambahkan musik dalam blog/web yang kita miliki, biar lebih berwarna dan lebih seru gitu blog kita kalau dikunjungi orang.hehe

Oke sob, kita masuk pada inti dari artikel ini ya.
Saya memakai http://www.stafaband.info untuk medianya, karena di web ini ada source code bagi yang ingin melampirkan musik dalam blog atau websitenya.

Kita masuk tahap pertama ya bos,
Masuk seperti biasa pada http://www.stafaband.info/ ,lalu SEARCH lagu yang kita inginkan.
setelah kita mengklik lagu yang kita inginkan akan muncul halaman sebagai berikut, dan ada bagian kecil yang screenshootnya seperti ini :





blok pada kode yang ada tersebut, lalu copy.

tahap kedua, buka dashbor blog anda, dan buka menu template. Didalam itu anda akan menemukan tatanan visual blog anda dan pasti akan ada menu "tambahkan gadget", klik menu tersebut dan pilih HTML/Javascript. Paste kode tadi pada kolom yang dsediakan, lalu Save.
Jadi deh, tinggal menyesuaikan letak gadget sesuai keinginan anda, download full version dari lagu yang anda tambahkan tadi jika masih belum mempunyai filenya.


Sekian artikel sederhana ini saya buat, semoga bermanfaat bagi sobat bloggers semua ya :)